Demonstrasi, Heroisme Sejati atau Sekedar Unjuk Gigi?
Menjadi mahasiswa tentu sangat membanggakan. Di negeri ini, mahasiswa dianggap sebagai kalangan elit intelektual, sebab hanya sedikit kursi yang tersedia untuk menjadi mahasiswa. Sehingga wajar jika mahasiswa diharapkan dapat menjadi ‘kompas’ bagi bangsanya. Tidak hanya itu, mahasiswa juga merupakan potret masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak akan mengemban tanggung jawab yang dibebankan oleh generasi pendahulu. Maka, sudah sewajarnya mahasiswa menjadi bagian dari pemecah masalah negeri ini. Salah satu caranya adalah dengan menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan rakyat; menyampaikan aspirasi masyarakat, salah satunya melalui demonstrasi.
Demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah di setiap negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah dapat menyatakan aspirasinya melalui demonstrasi. Tentu saja, mahasiswa adalah bagian dari rakyat itu. Sejak berhasilnya gerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim Orde Baru, kata demonstrasi menjadi identik dengan mahasiswa. Bahkan demonstrasi sepertinya telah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi mahasiswa. Tapi sebenarnya apakah esensi dari demonstrasi itu sendiri?
Jika kita ingat kembali aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998, saya berpendapat pada saat itu demonstrasi memang harus dilakukan, bahkan diperjuangkan. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu bukanlah suatu tindakan “menggulingkan pemerintahan”, Namun tindakan yang dilakukan untuk meyelamatkan rakyat yang selalu ditekan pemerintahan masa itu. Saya rasa inilah yang dikatakan sebagai demonstrasi. Ada sebuah tujuan krusial yang memang harus diperjuangkan. Bukan hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan orasi sambil membawa spanduk-spanduk dan mengepalkan tangan.
Bila dicermati, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiwa saat ini sungguh tidak cerdas dan tidak bermutu. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, mahasiwa justru melakukan tindakan anarkis, seperti memblokade jalan raya, merusak fasilitas umum, bahkan terlibat bentrok dengan pihak keamanan yang tentu saja meresahkan masyarakat. Bahkan, terkadang tidak jelas benar apa yang hendak disampaikan, masalah apa yang ingin dibahas, atupun siapa yang ingin didemonstrasi; yang terpenting adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah layaknya “hero” bagi masyarakat miskin, lemah, dan termarjinalkan. Inikah potret mahasiswa masa kini? Inikah perilaku mahasiswa yang disebut-sebut sebagai youth of the nation dan agent of change?
Mungkin mahasiswa sekarang harus kembali merenungkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, alih-alih menjadi bagian dari problem solver, demonstrasi yang tidak cerdas (baca: disertai aksi anarkis) justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Justru mahasiwa seharusnya menyadari “keberadaannya” sebagai seorang mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan yang memberikan perubahan positif bagi situasi bangsa, apakah demonstrasi serta-merta harus dilakukan tanpa memaknainya? Hendaknya demonstrasi didasarkan pada proses intelektual yang konstruktif dengan semangat mempejuangkan nasib rakyat yang tertindas karena tindakan semena-mena para pemegang kekuasaan. Inilah yang menurut saya menjadi esensi dari demonstrasi.
Kita memang sedang terbakar “semangat semu” untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya demonstrasi dilandasi dengan suatu pemikiran konstruktif namun tetap kritis dalam menyuarakan dalam aspirasinya.
Di sini, saya tidak bersikap antipati terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini, tetapi saya sangat menolak keras aksi-aksi anarkis yang dilakukan dengan “mengambinghitamkan” aksi demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi memang cara yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa sebab mahasiswa lebih mudah dilakukan dan semangat heroisme-nya lebih dapat dirasakan oleh mahasiswa. Namun apakah demonstrasi hanya satu-satunya jalan dalam menyampaikan aspirasi? Sepertinya kita harus berkaca pada Soe Hok Gie ataupun Ahmad Wahib yang menemukan cara lain untuk menyalurkan aspirasi selain melalui teriakan-teriakan memalukan yang memekakkan telinga.
Referensi:
http://taufik79.wordpress.com/2008/06/02/heroisme-sampah-quo-vadis-gerakan-moral-mahasiswa/
http://hmi.or.id/berita/181/menjadi-mahasiswa-sejati
http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/03/08/95/310161/demonstrasi-dan-kultur-intelektual
http://shout.indonesianyouthconference.org/article/lydianatasha/1434-demonstrasi-mahasiswa-pentingkah/
Demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah di setiap negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah dapat menyatakan aspirasinya melalui demonstrasi. Tentu saja, mahasiswa adalah bagian dari rakyat itu. Sejak berhasilnya gerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim Orde Baru, kata demonstrasi menjadi identik dengan mahasiswa. Bahkan demonstrasi sepertinya telah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi mahasiswa. Tapi sebenarnya apakah esensi dari demonstrasi itu sendiri?
Jika kita ingat kembali aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998, saya berpendapat pada saat itu demonstrasi memang harus dilakukan, bahkan diperjuangkan. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu bukanlah suatu tindakan “menggulingkan pemerintahan”, Namun tindakan yang dilakukan untuk meyelamatkan rakyat yang selalu ditekan pemerintahan masa itu. Saya rasa inilah yang dikatakan sebagai demonstrasi. Ada sebuah tujuan krusial yang memang harus diperjuangkan. Bukan hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan orasi sambil membawa spanduk-spanduk dan mengepalkan tangan.
Bila dicermati, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiwa saat ini sungguh tidak cerdas dan tidak bermutu. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, mahasiwa justru melakukan tindakan anarkis, seperti memblokade jalan raya, merusak fasilitas umum, bahkan terlibat bentrok dengan pihak keamanan yang tentu saja meresahkan masyarakat. Bahkan, terkadang tidak jelas benar apa yang hendak disampaikan, masalah apa yang ingin dibahas, atupun siapa yang ingin didemonstrasi; yang terpenting adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah layaknya “hero” bagi masyarakat miskin, lemah, dan termarjinalkan. Inikah potret mahasiswa masa kini? Inikah perilaku mahasiswa yang disebut-sebut sebagai youth of the nation dan agent of change?
Mungkin mahasiswa sekarang harus kembali merenungkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, alih-alih menjadi bagian dari problem solver, demonstrasi yang tidak cerdas (baca: disertai aksi anarkis) justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Justru mahasiwa seharusnya menyadari “keberadaannya” sebagai seorang mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan yang memberikan perubahan positif bagi situasi bangsa, apakah demonstrasi serta-merta harus dilakukan tanpa memaknainya? Hendaknya demonstrasi didasarkan pada proses intelektual yang konstruktif dengan semangat mempejuangkan nasib rakyat yang tertindas karena tindakan semena-mena para pemegang kekuasaan. Inilah yang menurut saya menjadi esensi dari demonstrasi.
Kita memang sedang terbakar “semangat semu” untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya demonstrasi dilandasi dengan suatu pemikiran konstruktif namun tetap kritis dalam menyuarakan dalam aspirasinya.
Di sini, saya tidak bersikap antipati terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini, tetapi saya sangat menolak keras aksi-aksi anarkis yang dilakukan dengan “mengambinghitamkan” aksi demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi memang cara yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa sebab mahasiswa lebih mudah dilakukan dan semangat heroisme-nya lebih dapat dirasakan oleh mahasiswa. Namun apakah demonstrasi hanya satu-satunya jalan dalam menyampaikan aspirasi? Sepertinya kita harus berkaca pada Soe Hok Gie ataupun Ahmad Wahib yang menemukan cara lain untuk menyalurkan aspirasi selain melalui teriakan-teriakan memalukan yang memekakkan telinga.
Referensi:
http://taufik79.wordpress.com/2008/06/02/heroisme-sampah-quo-vadis-gerakan-moral-mahasiswa/
http://hmi.or.id/berita/181/menjadi-mahasiswa-sejati
http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/03/08/95/310161/demonstrasi-dan-kultur-intelektual
http://shout.indonesianyouthconference.org/article/lydianatasha/1434-demonstrasi-mahasiswa-pentingkah/
Please leave a comment