Rabu, 10 Maret 2010

Tugas Individu 3

Demonstrasi, Heroisme Sejati atau Sekedar Unjuk Gigi?

Menjadi mahasiswa tentu sangat membanggakan. Di negeri ini, mahasiswa dianggap sebagai kalangan elit intelektual, sebab hanya sedikit kursi yang tersedia untuk menjadi mahasiswa. Sehingga wajar jika mahasiswa diharapkan dapat menjadi ‘kompas’ bagi bangsanya. Tidak hanya itu, mahasiswa juga merupakan potret masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak akan mengemban tanggung jawab yang dibebankan oleh generasi pendahulu. Maka, sudah sewajarnya mahasiswa menjadi bagian dari pemecah masalah negeri ini. Salah satu caranya adalah dengan menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan rakyat; menyampaikan aspirasi masyarakat, salah satunya melalui demonstrasi.

Demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah di setiap negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah dapat menyatakan aspirasinya melalui demonstrasi. Tentu saja, mahasiswa adalah bagian dari rakyat itu. Sejak berhasilnya gerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim Orde Baru, kata demonstrasi menjadi identik dengan mahasiswa. Bahkan demonstrasi sepertinya telah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi mahasiswa. Tapi sebenarnya apakah esensi dari demonstrasi itu sendiri?

Jika kita ingat kembali aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998, saya berpendapat pada saat itu demonstrasi memang harus dilakukan, bahkan diperjuangkan. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu bukanlah suatu tindakan “menggulingkan pemerintahan”, Namun tindakan yang dilakukan untuk meyelamatkan rakyat yang selalu ditekan pemerintahan masa itu. Saya rasa inilah yang dikatakan sebagai demonstrasi. Ada sebuah tujuan krusial yang memang harus diperjuangkan. Bukan hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan orasi sambil membawa spanduk-spanduk dan mengepalkan tangan.

Bila dicermati, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiwa saat ini sungguh tidak cerdas dan tidak bermutu. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, mahasiwa justru melakukan tindakan anarkis, seperti memblokade jalan raya, merusak fasilitas umum, bahkan terlibat bentrok dengan pihak keamanan yang tentu saja meresahkan masyarakat. Bahkan, terkadang tidak jelas benar apa yang hendak disampaikan, masalah apa yang ingin dibahas, atupun siapa yang ingin didemonstrasi; yang terpenting adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah layaknya “hero” bagi masyarakat miskin, lemah, dan termarjinalkan. Inikah potret mahasiswa masa kini? Inikah perilaku mahasiswa yang disebut-sebut sebagai youth of the nation dan agent of change?

Mungkin mahasiswa sekarang harus kembali merenungkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, alih-alih menjadi bagian dari problem solver, demonstrasi yang tidak cerdas (baca: disertai aksi anarkis) justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Justru mahasiwa seharusnya menyadari “keberadaannya” sebagai seorang mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan yang memberikan perubahan positif bagi situasi bangsa, apakah demonstrasi serta-merta harus dilakukan tanpa memaknainya? Hendaknya demonstrasi didasarkan pada proses intelektual yang konstruktif dengan semangat mempejuangkan nasib rakyat yang tertindas karena tindakan semena-mena para pemegang kekuasaan. Inilah yang menurut saya menjadi esensi dari demonstrasi.

Kita memang sedang terbakar “semangat semu” untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya demonstrasi dilandasi dengan suatu pemikiran konstruktif namun tetap kritis dalam menyuarakan dalam aspirasinya.

Di sini, saya tidak bersikap antipati terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini, tetapi saya sangat menolak keras aksi-aksi anarkis yang dilakukan dengan “mengambinghitamkan” aksi demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi memang cara yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa sebab mahasiswa lebih mudah dilakukan dan semangat heroisme-nya lebih dapat dirasakan oleh mahasiswa. Namun apakah demonstrasi hanya satu-satunya jalan dalam menyampaikan aspirasi? Sepertinya kita harus berkaca pada Soe Hok Gie ataupun Ahmad Wahib yang menemukan cara lain untuk menyalurkan aspirasi selain melalui teriakan-teriakan memalukan yang memekakkan telinga.

Referensi:
http://taufik79.wordpress.com/2008/06/02/heroisme-sampah-quo-vadis-gerakan-moral-mahasiswa/
http://hmi.or.id/berita/181/menjadi-mahasiswa-sejati
http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/03/08/95/310161/demonstrasi-dan-kultur-intelektual
http://shout.indonesianyouthconference.org/article/lydianatasha/1434-demonstrasi-mahasiswa-pentingkah/


Please leave a comment

Kamis, 04 Maret 2010

Hasil Diskusi Kelompok L; Kuliah online NIM Genap

Bagaimana pandangan psikologi pendidikan terhadap pandangan bahwa media pembelajaran dapat mengakibatkan dehumanisasi pada siswa?

Jawab: Menurut kelompok kami, psikologi pendidikan memandang bahwa seharusnya tidak perlu terjadi apabila peserta didik dan pendidik itu sendiri dapat memandang bahwa manusia adalah individu yang memiliki kepribadian, motivasi, dan kemampuan pribadi yang berbeda. Karenanya penggunaan media pembelajaran modern ataupun tidak, haruslah tetap melalui pendekatan humanis. Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat
mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping
memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi
serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan
secara optimal agar proses pembelajaran dapat berangsung secara efektif. Dengan kata lain, siswa harus dihargai harkat kemanusiaannya dan diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi.

Berdasarkan teori sistem oleh B.F Skinner yang menjadi dasar rancangan desain sistem pembelajaran dalam teknologi pembelajaran, bagaimanakah pandangan psikologi pendidikan akan kajian tersebut dan kehadiran psikologi pembelajaran didalamnya?

Jawab: Menurut kelompok kami, berdasarkan teori Skinner yang menjadi dasar pengembangannya, teori ini menghadirkan psikologi pembelajaran sebagai aplikasi dari nilai-nilai sistem belajar berbasis teknologi yang merupakan prosedur terorganisir yang meliputi : (a) penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari); (b) perancangan (proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya); (c) pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pelajaran); (d) pelaksanaan/aplikasi (pemanfaatan bahan dan strategi) dan (e) penilaian (proses penentuan ketepatan pembelajaran). Psikologi pendidikan memandang bahwa dalam kajian ini Teknologi dan peserta didik haruslah berbarengan dan dapat disimulasikan secara simultan dengan sedemikian rupa agar dapat teraplikasi merata dan baik. Hal ini untuk menstimulasi pendidik dan peserta didik untuk “sadar” dan dapat membentuk citra personal yang membantu perkembangan proses belajar mengajar.


Di tengah berkembangnya sistem pembelajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”, maka model pembelajaran manakah yang cocok untuk diterapkan?

Jawab: Sistem pengajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered” dilakukan guna mengatasi beberapa kekurangan dalam sistem “learner-centered”, misalnya kendala teknis seperti penguasaan peserta didik akan teknologi serta ketersediaan teknologi itu sendiri (ketersediaan laptop, situs pembelajaran, internet, dsb.). Sehingga diperlukan variasi dalam menerapkan modul pembelajaran untuk mendukung perpaduan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”. Karena itu, menurut kelompok kami, ketiga jenis modul pembelajaran yakni modul pembelajaran langsung, koorperatif, dan modul pembelajaran berdasarkan masalah harus dipadukan. Modul pembelajaran langsung biasanya dipakai dala sistem “teacher-centered”, sedangkan modul pembelajaran kooperatif biasa diaplikasikan pada sistem “teacher-centered”. Modul pembelajaran berdasarkan masalah dapat diaplikasikan pada keduanya. Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat dengan model pembelajaran langsung. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan pembelajaran berdasarkan masalah adalah meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan keterkaitan antar disiplin.
Variasi ketiganya dapat dilakukan dengan cara berikut: pada awal pertemuan, guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai materi yang akan dibahas ataupun memberikan ceramah singkat mengenai materi yang akan diajarkan (modul pembelajaran langsung). Lalu guru memberikan sebuah pertanyaan esensial ataupun contoh kasus (modul pembelajaran berdasarkan masalah) yang akan dipecahkan oleh peserta didik secara berkelompok dengan menggunakan teknologi ataupun bahan literature yang dieksplor sendiri oleh mereka(modul pembelajaran kooperatif).


Referensi:
Munir.2008.Kurikulum Berbasis TIK.Bandung:Penerbit Alfabeta.
Santrock, J.W.2008.Psikologi Pendidikan Edisi Kedua.Jakarta:Kencana Prenada Media Group


http://sweetyhome.files.wordpress.com/2009/08/berkas-cooperative-learning2.pdf
http://model-pembelajaran.blogspot.com/2008/08/ragam-model-pembelajaran.html
www.freewebs.com/santyasa/pdf2/MEDIA_PEMBELAJARAN.pdf -

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/

http://e-pendidikan.com/a-v.html


Testimoni
Susi Trisnawaty 09-026
“Ini adalah hari yang sangat menegangkan karena keterbatasan laptop dan koneksi sehingga tidak dapat mengikuti kuliah on-line secara langsung, hanya bisa menatap dari belakang.”

Desy Christina 09-042
“Saya sangat tertantang atas kesulitan tugas yang diberikan pada hari ini. Tetapi, saya tetap semangat!!!!…
Terima kasih buat ibu yang telah memberikan tugas, dan terima kasih buat teman-tenan kelompok ku yang baik, karena telah membantuku..hehehe”

Antony 09-052
“Saya benar-benar bingung, sebenarnya saya merasa tertantang dan rasanya menyenangkan”

Margaretha Novitasari 09-076
“Awalnya sih merasa bingung, apalagi ditambah dengan koneksi internet yang kurang mendukung. Tapi pada akhirnya cukup menarik.”

Niputu Defi 09-090
“Menyenangkan sekaligus memabukkan”