Selasa, 25 Mei 2010
Jumat, 07 Mei 2010
Tugas Proyek 2
Proyek ini adalah kelanjutan dari tugas proyek kecil yang telah diposkan bulan February lalu. Dalam tugas proyek ini disertakan lampiran data yang dihasilkan dari observasi, testimoni, dan juga anggaran biaya yang dipakai untuk observasi yang kami lakukan ini. Untuk melihat lebih lanjut klik proyek. Dalam proyek ini disertakan juga video sewaktu observasi berlangsung, jika berkenan untuk melihatnya klik video 1, video 2, dan video foto, serta slide dalam bentuk rar.
Anggota kelompok L:
7 Mei 2010
Kelompok L
Kamis, 15 April 2010
Perbedaan Pandangan Masyarakat Indonesia dan Inggris terhadap pendidikan anak usia dini;Tugas Kelompok L
Perbedaan cara pandang masyarakat Indonesia dan Inggris akan pendidikan anak usia dini mengubah pemikiran masing-masing akan pentingnya pendidikan anak usia itu sendiri. Masyarakat Indonesia sendiri, secara rata-rata, memiliki pengetahuan yang minim akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Pengetahuan yang minim tersebut bermanifestasi dalam kurangnya minat masyarakat untuk menjadi guru ataupun mengikutsertakan anaknya dalam pendidikan anak usia dini. Hal ini berbeda dengan masyarakat luar negeri, dalam hal ini masyarakat Inggris umumnya, yang memandang pendidikan anak usia dini perlu dalam mengembangkan serta mengoptimalkan perkembangan motorik dan kognitif anak. Sehingga kebanyakan orang tua di Indonesia tidak mempunyai wawasan tentang perkembangan anak yang cukup sehingga banyak di antara mereka yang tidak menguasai dan menerapkan pendidikan anak usia dini di rumah. Bahkan mereka juga tidak mendapatkan pendidikan khusus tentang anak usia dini. Padahal seperti yang kita ketahui lingkungan keluarga memiliki pengaruh yang sangat krusial terhadap perkembangan kognitif dan motorik anak pada usia dini.
Sementara di Inggris, perkembangan industri serta tuntutan modernisasi yang memaksa orang tua untuk bekerja menyebabkan banyak institusi ataupun lembaga yang kemudian menyediakan pendidikan khusus bagi anak usia dini. Pendidikan ini ditujukan khusus untuk membantu perkembangan anak daripada tujuan akademis ataupun pemenuhan kurikulum. Bahkan pemerintah sendiri telah mencanangkan program khusus dalam menyukseskan dan mendukung program pendidikan anak usia dini, seperti melatih tenaga profesional, membantu dalam menyokong dana operasional, serta membantu pengadaan fasilitas yang diperlukan.
Sehingga dapat kita lihat bagaimana peran orang tua dalam mendukung perkembangan anak sejak dini meskipun pada dasarnya para orang tua tidak dapat secara langsung mendukung dan mengambil peran dalam perkembangan anak di usia dini. Bahkan pemerintah mengambil kebijakan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang anak sebelum ia dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, meskipun pada akhirnya kebijakan ini ditentang oleh masyarakat dan tidak diterapkan kemudian.
Hal ini tentu berlawanan dengan kebijakan pemerintahan Indonesia yang kurang mendukung perkembangan anak usia dini di Indonesia. Apalagi penerapan kebijakan bahwa pendidikan anak usia dini dianggap bukanlah sebuah syarat dalam menempuh pendidikan sekolah dasar menyebabkan baik pemerintah maupun pihak swasta kurang “berhasrat” dalam mendirikan institusi-institusi pendidikan anak usia dini di Indonesia.
Sehingga perlu adanya solusi yang diberikan untuk masalah ini antara lain:
1. Hendaknya kebijakan mengenai pendidikan anak usia dini dapat diupayakan agar lebih mendukung perkembangan institusi-institusi pendidikan yang mengelola pendidikan anak usia dini di Indonesia.
2. Perlu dibuat sebuah terobosan baru untuk mensinergikan semua potensi yang ada di dalam masyarakat dalam rangka tercapainya pendidikan anak usia dini yang utuh, menyeluruh, dan terintegrasi.
Referensi:
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/indexphp/Search.html?act=tampil&id=9422
http://search.ebschohost.com/login.aspx?direct=true&db=a3h&AN=25779607&site=ehost-live
http://search.ebschohost.com/login.aspx?direct=true&db=a3h&AN=34082367&site=ehost-live
http://etd.eprints.ums.ac.id/3738/L/F100040123.pdf
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/indexphp/Search.html?act=tampil&id=9422
http://search.ebschohost.com/login.aspx?direct=true&db=a3h&AN=25779607&site=ehost-live
http://search.ebschohost.com/login.aspx?direct=true&db=a3h&AN=34082367&site=ehost-live
http://etd.eprints.ums.ac.id/3738/L/F100040123.pdf
Anggota kelompok L:
15 April 2010
Rabu, 10 Maret 2010
Tugas Individu 3
Demonstrasi, Heroisme Sejati atau Sekedar Unjuk Gigi?
Menjadi mahasiswa tentu sangat membanggakan. Di negeri ini, mahasiswa dianggap sebagai kalangan elit intelektual, sebab hanya sedikit kursi yang tersedia untuk menjadi mahasiswa. Sehingga wajar jika mahasiswa diharapkan dapat menjadi ‘kompas’ bagi bangsanya. Tidak hanya itu, mahasiswa juga merupakan potret masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak akan mengemban tanggung jawab yang dibebankan oleh generasi pendahulu. Maka, sudah sewajarnya mahasiswa menjadi bagian dari pemecah masalah negeri ini. Salah satu caranya adalah dengan menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan rakyat; menyampaikan aspirasi masyarakat, salah satunya melalui demonstrasi.
Demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah di setiap negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah dapat menyatakan aspirasinya melalui demonstrasi. Tentu saja, mahasiswa adalah bagian dari rakyat itu. Sejak berhasilnya gerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim Orde Baru, kata demonstrasi menjadi identik dengan mahasiswa. Bahkan demonstrasi sepertinya telah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi mahasiswa. Tapi sebenarnya apakah esensi dari demonstrasi itu sendiri?
Jika kita ingat kembali aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998, saya berpendapat pada saat itu demonstrasi memang harus dilakukan, bahkan diperjuangkan. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu bukanlah suatu tindakan “menggulingkan pemerintahan”, Namun tindakan yang dilakukan untuk meyelamatkan rakyat yang selalu ditekan pemerintahan masa itu. Saya rasa inilah yang dikatakan sebagai demonstrasi. Ada sebuah tujuan krusial yang memang harus diperjuangkan. Bukan hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan orasi sambil membawa spanduk-spanduk dan mengepalkan tangan.
Bila dicermati, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiwa saat ini sungguh tidak cerdas dan tidak bermutu. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, mahasiwa justru melakukan tindakan anarkis, seperti memblokade jalan raya, merusak fasilitas umum, bahkan terlibat bentrok dengan pihak keamanan yang tentu saja meresahkan masyarakat. Bahkan, terkadang tidak jelas benar apa yang hendak disampaikan, masalah apa yang ingin dibahas, atupun siapa yang ingin didemonstrasi; yang terpenting adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah layaknya “hero” bagi masyarakat miskin, lemah, dan termarjinalkan. Inikah potret mahasiswa masa kini? Inikah perilaku mahasiswa yang disebut-sebut sebagai youth of the nation dan agent of change?
Mungkin mahasiswa sekarang harus kembali merenungkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, alih-alih menjadi bagian dari problem solver, demonstrasi yang tidak cerdas (baca: disertai aksi anarkis) justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Justru mahasiwa seharusnya menyadari “keberadaannya” sebagai seorang mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan yang memberikan perubahan positif bagi situasi bangsa, apakah demonstrasi serta-merta harus dilakukan tanpa memaknainya? Hendaknya demonstrasi didasarkan pada proses intelektual yang konstruktif dengan semangat mempejuangkan nasib rakyat yang tertindas karena tindakan semena-mena para pemegang kekuasaan. Inilah yang menurut saya menjadi esensi dari demonstrasi.
Kita memang sedang terbakar “semangat semu” untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya demonstrasi dilandasi dengan suatu pemikiran konstruktif namun tetap kritis dalam menyuarakan dalam aspirasinya.
Di sini, saya tidak bersikap antipati terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini, tetapi saya sangat menolak keras aksi-aksi anarkis yang dilakukan dengan “mengambinghitamkan” aksi demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi memang cara yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa sebab mahasiswa lebih mudah dilakukan dan semangat heroisme-nya lebih dapat dirasakan oleh mahasiswa. Namun apakah demonstrasi hanya satu-satunya jalan dalam menyampaikan aspirasi? Sepertinya kita harus berkaca pada Soe Hok Gie ataupun Ahmad Wahib yang menemukan cara lain untuk menyalurkan aspirasi selain melalui teriakan-teriakan memalukan yang memekakkan telinga.
Referensi:
http://taufik79.wordpress.com/2008/06/02/heroisme-sampah-quo-vadis-gerakan-moral-mahasiswa/
http://hmi.or.id/berita/181/menjadi-mahasiswa-sejati
http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/03/08/95/310161/demonstrasi-dan-kultur-intelektual
http://shout.indonesianyouthconference.org/article/lydianatasha/1434-demonstrasi-mahasiswa-pentingkah/
Demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah di setiap negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah dapat menyatakan aspirasinya melalui demonstrasi. Tentu saja, mahasiswa adalah bagian dari rakyat itu. Sejak berhasilnya gerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim Orde Baru, kata demonstrasi menjadi identik dengan mahasiswa. Bahkan demonstrasi sepertinya telah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi mahasiswa. Tapi sebenarnya apakah esensi dari demonstrasi itu sendiri?
Jika kita ingat kembali aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 1998, saya berpendapat pada saat itu demonstrasi memang harus dilakukan, bahkan diperjuangkan. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu bukanlah suatu tindakan “menggulingkan pemerintahan”, Namun tindakan yang dilakukan untuk meyelamatkan rakyat yang selalu ditekan pemerintahan masa itu. Saya rasa inilah yang dikatakan sebagai demonstrasi. Ada sebuah tujuan krusial yang memang harus diperjuangkan. Bukan hanya sekedar turun ke jalan dan melakukan orasi sambil membawa spanduk-spanduk dan mengepalkan tangan.
Bila dicermati, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiwa saat ini sungguh tidak cerdas dan tidak bermutu. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, mahasiwa justru melakukan tindakan anarkis, seperti memblokade jalan raya, merusak fasilitas umum, bahkan terlibat bentrok dengan pihak keamanan yang tentu saja meresahkan masyarakat. Bahkan, terkadang tidak jelas benar apa yang hendak disampaikan, masalah apa yang ingin dibahas, atupun siapa yang ingin didemonstrasi; yang terpenting adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah layaknya “hero” bagi masyarakat miskin, lemah, dan termarjinalkan. Inikah potret mahasiswa masa kini? Inikah perilaku mahasiswa yang disebut-sebut sebagai youth of the nation dan agent of change?
Mungkin mahasiswa sekarang harus kembali merenungkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, alih-alih menjadi bagian dari problem solver, demonstrasi yang tidak cerdas (baca: disertai aksi anarkis) justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Justru mahasiwa seharusnya menyadari “keberadaannya” sebagai seorang mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan yang memberikan perubahan positif bagi situasi bangsa, apakah demonstrasi serta-merta harus dilakukan tanpa memaknainya? Hendaknya demonstrasi didasarkan pada proses intelektual yang konstruktif dengan semangat mempejuangkan nasib rakyat yang tertindas karena tindakan semena-mena para pemegang kekuasaan. Inilah yang menurut saya menjadi esensi dari demonstrasi.
Kita memang sedang terbakar “semangat semu” untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya demonstrasi dilandasi dengan suatu pemikiran konstruktif namun tetap kritis dalam menyuarakan dalam aspirasinya.
Di sini, saya tidak bersikap antipati terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa akhir-akhir ini, tetapi saya sangat menolak keras aksi-aksi anarkis yang dilakukan dengan “mengambinghitamkan” aksi demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi memang cara yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa sebab mahasiswa lebih mudah dilakukan dan semangat heroisme-nya lebih dapat dirasakan oleh mahasiswa. Namun apakah demonstrasi hanya satu-satunya jalan dalam menyampaikan aspirasi? Sepertinya kita harus berkaca pada Soe Hok Gie ataupun Ahmad Wahib yang menemukan cara lain untuk menyalurkan aspirasi selain melalui teriakan-teriakan memalukan yang memekakkan telinga.
Referensi:
http://taufik79.wordpress.com/2008/06/02/heroisme-sampah-quo-vadis-gerakan-moral-mahasiswa/
http://hmi.or.id/berita/181/menjadi-mahasiswa-sejati
http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/03/08/95/310161/demonstrasi-dan-kultur-intelektual
http://shout.indonesianyouthconference.org/article/lydianatasha/1434-demonstrasi-mahasiswa-pentingkah/
Please leave a comment
Kamis, 04 Maret 2010
Hasil Diskusi Kelompok L; Kuliah online NIM Genap
Bagaimana pandangan psikologi pendidikan terhadap pandangan bahwa media pembelajaran dapat mengakibatkan dehumanisasi pada siswa?
Jawab: Menurut kelompok kami, psikologi pendidikan memandang bahwa seharusnya tidak perlu terjadi apabila peserta didik dan pendidik itu sendiri dapat memandang bahwa manusia adalah individu yang memiliki kepribadian, motivasi, dan kemampuan pribadi yang berbeda. Karenanya penggunaan media pembelajaran modern ataupun tidak, haruslah tetap melalui pendekatan humanis. Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat
mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping
memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi
serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan
secara optimal agar proses pembelajaran dapat berangsung secara efektif. Dengan kata lain, siswa harus dihargai harkat kemanusiaannya dan diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi.
Berdasarkan teori sistem oleh B.F Skinner yang menjadi dasar rancangan desain sistem pembelajaran dalam teknologi pembelajaran, bagaimanakah pandangan psikologi pendidikan akan kajian tersebut dan kehadiran psikologi pembelajaran didalamnya?
Jawab: Menurut kelompok kami, berdasarkan teori Skinner yang menjadi dasar pengembangannya, teori ini menghadirkan psikologi pembelajaran sebagai aplikasi dari nilai-nilai sistem belajar berbasis teknologi yang merupakan prosedur terorganisir yang meliputi : (a) penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari); (b) perancangan (proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya); (c) pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pelajaran); (d) pelaksanaan/aplikasi (pemanfaatan bahan dan strategi) dan (e) penilaian (proses penentuan ketepatan pembelajaran). Psikologi pendidikan memandang bahwa dalam kajian ini Teknologi dan peserta didik haruslah berbarengan dan dapat disimulasikan secara simultan dengan sedemikian rupa agar dapat teraplikasi merata dan baik. Hal ini untuk menstimulasi pendidik dan peserta didik untuk “sadar” dan dapat membentuk citra personal yang membantu perkembangan proses belajar mengajar.
Di tengah berkembangnya sistem pembelajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”, maka model pembelajaran manakah yang cocok untuk diterapkan?
Jawab: Sistem pengajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered” dilakukan guna mengatasi beberapa kekurangan dalam sistem “learner-centered”, misalnya kendala teknis seperti penguasaan peserta didik akan teknologi serta ketersediaan teknologi itu sendiri (ketersediaan laptop, situs pembelajaran, internet, dsb.). Sehingga diperlukan variasi dalam menerapkan modul pembelajaran untuk mendukung perpaduan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”. Karena itu, menurut kelompok kami, ketiga jenis modul pembelajaran yakni modul pembelajaran langsung, koorperatif, dan modul pembelajaran berdasarkan masalah harus dipadukan. Modul pembelajaran langsung biasanya dipakai dala sistem “teacher-centered”, sedangkan modul pembelajaran kooperatif biasa diaplikasikan pada sistem “teacher-centered”. Modul pembelajaran berdasarkan masalah dapat diaplikasikan pada keduanya. Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat dengan model pembelajaran langsung. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan pembelajaran berdasarkan masalah adalah meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan keterkaitan antar disiplin.
Variasi ketiganya dapat dilakukan dengan cara berikut: pada awal pertemuan, guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai materi yang akan dibahas ataupun memberikan ceramah singkat mengenai materi yang akan diajarkan (modul pembelajaran langsung). Lalu guru memberikan sebuah pertanyaan esensial ataupun contoh kasus (modul pembelajaran berdasarkan masalah) yang akan dipecahkan oleh peserta didik secara berkelompok dengan menggunakan teknologi ataupun bahan literature yang dieksplor sendiri oleh mereka(modul pembelajaran kooperatif).
Referensi:
Munir.2008.Kurikulum Berbasis TIK.Bandung:Penerbit Alfabeta.
Santrock, J.W.2008.Psikologi Pendidikan Edisi Kedua.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
http://sweetyhome.files.wordpress.com/2009/08/berkas-cooperative-learning2.pdf
http://model-pembelajaran.blogspot.com/2008/08/ragam-model-pembelajaran.html
www.freewebs.com/santyasa/pdf2/MEDIA_PEMBELAJARAN.pdf -
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/
http://e-pendidikan.com/a-v.html
Testimoni
Susi Trisnawaty 09-026
“Ini adalah hari yang sangat menegangkan karena keterbatasan laptop dan koneksi sehingga tidak dapat mengikuti kuliah on-line secara langsung, hanya bisa menatap dari belakang.”
Desy Christina 09-042
“Saya sangat tertantang atas kesulitan tugas yang diberikan pada hari ini. Tetapi, saya tetap semangat!!!!…
Terima kasih buat ibu yang telah memberikan tugas, dan terima kasih buat teman-tenan kelompok ku yang baik, karena telah membantuku..hehehe”
Antony 09-052
“Saya benar-benar bingung, sebenarnya saya merasa tertantang dan rasanya menyenangkan”
Margaretha Novitasari 09-076
“Awalnya sih merasa bingung, apalagi ditambah dengan koneksi internet yang kurang mendukung. Tapi pada akhirnya cukup menarik.”
Niputu Defi 09-090
“Menyenangkan sekaligus memabukkan”
Jawab: Menurut kelompok kami, psikologi pendidikan memandang bahwa seharusnya tidak perlu terjadi apabila peserta didik dan pendidik itu sendiri dapat memandang bahwa manusia adalah individu yang memiliki kepribadian, motivasi, dan kemampuan pribadi yang berbeda. Karenanya penggunaan media pembelajaran modern ataupun tidak, haruslah tetap melalui pendekatan humanis. Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat
mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping
memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi
serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan
secara optimal agar proses pembelajaran dapat berangsung secara efektif. Dengan kata lain, siswa harus dihargai harkat kemanusiaannya dan diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi.
Berdasarkan teori sistem oleh B.F Skinner yang menjadi dasar rancangan desain sistem pembelajaran dalam teknologi pembelajaran, bagaimanakah pandangan psikologi pendidikan akan kajian tersebut dan kehadiran psikologi pembelajaran didalamnya?
Jawab: Menurut kelompok kami, berdasarkan teori Skinner yang menjadi dasar pengembangannya, teori ini menghadirkan psikologi pembelajaran sebagai aplikasi dari nilai-nilai sistem belajar berbasis teknologi yang merupakan prosedur terorganisir yang meliputi : (a) penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari); (b) perancangan (proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya); (c) pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pelajaran); (d) pelaksanaan/aplikasi (pemanfaatan bahan dan strategi) dan (e) penilaian (proses penentuan ketepatan pembelajaran). Psikologi pendidikan memandang bahwa dalam kajian ini Teknologi dan peserta didik haruslah berbarengan dan dapat disimulasikan secara simultan dengan sedemikian rupa agar dapat teraplikasi merata dan baik. Hal ini untuk menstimulasi pendidik dan peserta didik untuk “sadar” dan dapat membentuk citra personal yang membantu perkembangan proses belajar mengajar.
Di tengah berkembangnya sistem pembelajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”, maka model pembelajaran manakah yang cocok untuk diterapkan?
Jawab: Sistem pengajaran yang memadukan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered” dilakukan guna mengatasi beberapa kekurangan dalam sistem “learner-centered”, misalnya kendala teknis seperti penguasaan peserta didik akan teknologi serta ketersediaan teknologi itu sendiri (ketersediaan laptop, situs pembelajaran, internet, dsb.). Sehingga diperlukan variasi dalam menerapkan modul pembelajaran untuk mendukung perpaduan instruksi pengajaran “teacher-centered” dengan “learner-centered”. Karena itu, menurut kelompok kami, ketiga jenis modul pembelajaran yakni modul pembelajaran langsung, koorperatif, dan modul pembelajaran berdasarkan masalah harus dipadukan. Modul pembelajaran langsung biasanya dipakai dala sistem “teacher-centered”, sedangkan modul pembelajaran kooperatif biasa diaplikasikan pada sistem “teacher-centered”. Modul pembelajaran berdasarkan masalah dapat diaplikasikan pada keduanya. Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat dengan model pembelajaran langsung. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan pembelajaran berdasarkan masalah adalah meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan keterkaitan antar disiplin.
Variasi ketiganya dapat dilakukan dengan cara berikut: pada awal pertemuan, guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai materi yang akan dibahas ataupun memberikan ceramah singkat mengenai materi yang akan diajarkan (modul pembelajaran langsung). Lalu guru memberikan sebuah pertanyaan esensial ataupun contoh kasus (modul pembelajaran berdasarkan masalah) yang akan dipecahkan oleh peserta didik secara berkelompok dengan menggunakan teknologi ataupun bahan literature yang dieksplor sendiri oleh mereka(modul pembelajaran kooperatif).
Referensi:
Munir.2008.Kurikulum Berbasis TIK.Bandung:Penerbit Alfabeta.
Santrock, J.W.2008.Psikologi Pendidikan Edisi Kedua.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
http://sweetyhome.files.wordpress.com/2009/08/berkas-cooperative-learning2.pdf
http://model-pembelajaran.blogspot.com/2008/08/ragam-model-pembelajaran.html
www.freewebs.com/santyasa/pdf2/MEDIA_PEMBELAJARAN.pdf -
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/
http://e-pendidikan.com/a-v.html
Testimoni
Susi Trisnawaty 09-026
“Ini adalah hari yang sangat menegangkan karena keterbatasan laptop dan koneksi sehingga tidak dapat mengikuti kuliah on-line secara langsung, hanya bisa menatap dari belakang.”
Desy Christina 09-042
“Saya sangat tertantang atas kesulitan tugas yang diberikan pada hari ini. Tetapi, saya tetap semangat!!!!…
Terima kasih buat ibu yang telah memberikan tugas, dan terima kasih buat teman-tenan kelompok ku yang baik, karena telah membantuku..hehehe”
Antony 09-052
“Saya benar-benar bingung, sebenarnya saya merasa tertantang dan rasanya menyenangkan”
Margaretha Novitasari 09-076
“Awalnya sih merasa bingung, apalagi ditambah dengan koneksi internet yang kurang mendukung. Tapi pada akhirnya cukup menarik.”
Niputu Defi 09-090
“Menyenangkan sekaligus memabukkan”
Jumat, 26 Februari 2010
Tugas Proyek Kecil
Anak-anak yang berusia enam sampai sebelas tahun termasuk dalam periode perkembangan middle childhood atau masa kanak-kanak madya. Pada tahap ini, perkembangan anak tidak hanya berkembang pesat pada fisik saja, tetapi juga pada kognitif anak. Salah satunya perkembangan linguistik anak, yang mencakup penggunaan tata bahasa, kemampuan verbal, dan juga penguasaan kosa kata. Anak-anak usia sekolah dapat menerapkan aturan-aturan ketatabahasaan, seperti sintaksis, semantik, dan pragmatis. Kemajuan tersebut melibatkan peran serta orang tua serta tenaga pendidik yang mengajarinya. Namun, perkembangan linguistik anak juga tidak dapat dilepaskan dari penguasaan akan kosa kata. Sepanjang usia sekolah, penambahan kosa kata anak-anak terjadi tidak teratur. Anak lelaki memiliki lebih banyak kata-kata populer yang kasar dan kata-kata makian karena kata-kata tersebut dianggap sebagai pertanda kejantanan. Anak perempuan mempunyai kosa kata yang lebih banyak terhadap warna serta kegiatan yang mencakup penggunaan warna, seperti menata rumah boneka. Biasanya anak-anak mendapatkan tambahan kosa kata baru dari buku bacaan, pembicaraan dengan teman sebaya, serta melalui televisi.
Proposal yang lebih lanjut silakan klik Proyek
26 Februari 2010
Kelompok L:
091301026 Susi Trisnawaty
091301042 Desy C.M.
091301052 Antony
091301076 Margareth N.S.
091301090 Niputu Defi
Proposal yang lebih lanjut silakan klik Proyek
26 Februari 2010
Kelompok L:
091301026 Susi Trisnawaty
091301042 Desy C.M.
091301052 Antony
091301076 Margareth N.S.
091301090 Niputu Defi
Selasa, 23 Februari 2010
Tugas Individu 2
Fenomena Ubiquitous Computing Terhadap E-leanrning; Tugas 2
Apa itu Ubiquitous Computing?
Ubiquitous computing (dikenal juga dengan istilah pervasive computing) merupakan generasi ketiga dari perkembangan teknologi komputasi. Dulu, orang-orang menggunakan komputer berukuran besar yang dikenal dengan mainframe; digunakan secara bersama-sama oleh beberapa orang (one computer, many people). Dalam perkembangan selanjutnya,teknologi mainframe digantikan oleh teknologi PC; membuat penggunaan komputer menjadi lebih praktis. Ukuran komputer menjadi lebih kecil, portable, murah & mudah digunakan, serta lebih fungsional dibanding generasi terdahulu. Kemudahan ini menyebakan penggunaan komputer semakin lazim di masyarakat. Apalagi kini teknologi komputer didukung dengan jaringan internet yang membuat komputer menjadi salah satu alat komunikasi favorit di dunia. Istilah ubiquitous sendiri berarti muncul atau terjadi dimana-mana. Istilah ini dikembangkan oleh seorang peneliti di Xerox PARC, Mark Weiser. Menurut Weiser, ubiquitous computing memungkinkan individu memakai berates-ratus device (alat) komputasi wireless dalam berbagai aspek kehidupannya. Ubiquitous computing menekankan pada distribusi komputer ke lingkungan, ketimbang personal (Santrock, 2008). Hal ini menyebabkan penggunaan komputer yang terjadi dengan sendirinya, tanpa perlu kita memikirkannya (natural). Fenomena ubiquitous computing dapat kita lihat di bidang ekonomi bisnis/perbankan, komunikasi, kesehatan, dan banyak lagi.
Lantas apa itu e-learning?
Istilah e-learning sangat populer beberapa tahun belakangan. Huruf e pada kata e-learning berarti elektronik. Sehingga e-learning dapat diartikan sebagai proses pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa peralatan elektronik, seperti jasa audio, video, perangkat komputer, ataupun kombinasi dari ketiganya (Munir, 2008). E-learning memungkinkan proses belajar-mengajar terjadi dimana saja dan kapan saja tanpa terbatas ruang dan waktu. Pengajar cukup mengupload materi pelajaran di situs yang tersedia dan pendidik dapat mengaksesnya dimana pun. Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa sistem pembelajaran e-learning tidak terfokus pada e-nya, tetapi fokus pada learningnya.
Jadi, apa kaitan ubiquitous computing dengan e-learning?
Fenomena ubiquitous computing tidak dapat diragukan lagi membawa pengaruh besar terhadap pelaksanaan sistem pembelajaran berbasis e-learning. Fenomena ubiquitous computing menunjukkan pada kita bahwa pemanfaatan teknologi telah memasuki sendi-sendi kehidupan setiap individu. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa setiap individu mulai menguasai, bahkan mengikuti perkembangan teknologi. Tentu saja, fenomena ubiquitous computing sejalan dengan proses penerapan sistem pembelajaran e-learning. Sistem pembelajaran e-learning merupakan sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered), dimana peserta didik diharapkan aktif dalam mencari informasi yang berkenaan dengan materi pelajaran. Media pembelajaran e-learninng di sini dikhususkan pada media komputer yang terintegrasi dengan jaringan internet. Penggabungan antara ubiquitous computing dan e-learning menghasilkan fenomena ubiquitous learning, dimana proses pembelajaran dilaksanakan melalui bantuan teknologi komputer dan dapat digunakan dimana saja dan kapan saja; memanfaatkan wireless local area network (WLAN) ataupun modem. Fenomena ubiquitous learning sendiri telah berkembang di negara-negara maju, bahkan beberapa software juga telah dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran, yakni Learning Management System (LSM) yang tidak hanya digunakan oleh anak-anak sekolah tetapi juga mahasiswa. LSM tidak hanya berisi materi-materi pelajaran yang diatur dengan cara standar, tetapi juga berisi modul, kuis, dan bahan diskusi yang diintegrasikan dengan sistem informasi yang tersedia. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi revolusi besar dalam sistem pendidikan dunia. Meski perkembangannya masih terbatas di negara-negara maju, diharapkan ubiquitous learning juga dapat berkembang di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tentunya dengan bantuan teknologi komputasi yang memadai dan sumber daya manusia yang mahir memanfaatkan teknologi.
Referensi:
Munir.2008.Kurikulum Berbasis TIK.Bandung:Penerbit Alfabeta.
Santrock, J.W.2008.Psikologi Pendidikan Edisi Kedua.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Sumber lainnya:
http://elearnmag.org
http://ijg,cgpublishers.com
http://www.shvoong.com
http://www.wikipedia.org
Kamis, 11 Februari 2010
Barang Mewah tak Terpakai;Tugas 1
Peradaban manusia selalu berkembang. Kualitas manusia sekarang lebih baik dibandingkan dengan manusia dulu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tidak dapat dipungkiri, perkembangan iptek sekarang memasuki tahap eksplosi (ledakan) sehingga tidak mungkin manusia memisahkan setiap bagian kehidupannya dari teknologi. Hal tersebut berlaku juga dalam perkembangan pendidikan.
Kalau kita amati, ada perbedaan yang menonjol antara murid-murid sekarang dengan murid-murid beberapa dekade lalu. Pada zaman sekarang, murid tidak hanya dituntut untuk mendapatkan nilai bagus ataupun life skills (kecakapan hidup) saja, tetapi juga kemampuan berbasis teknologi. Hal tersebut dapat kita lihat dengan dimasukkannya TIK ke dalam kurikulum pembelajaran dan diperkenalkannya metode pembelajaran berbasis e-learning. Bukan hanya itu, sekolah sebagai media pembelajaran harus siap dan mampu menerapkan sistem kurikulum yang berbasis TIK serta mempersiapkan fasilitas yang diperlukan guna mendukung siswanya dalam menguasai penggunaan teknologi. Selain itu, tenaga pengajar juga harus diperkenalkan dengan teknologi sehingga mereka bisa mengarahkan peserta didiknya untuk tetap beretika dalam memanfaatkan teknologi.
Ini adalah salah satu pengalaman saya beberapa tahun yang lalu.Di sekolah saya (sebut saja sekolah X), pihak sekolah telah mempersiapkan anggaran yang tidak sedikit dalam rencana pengadaan laboratorium bahasa. Tentu saja pada saat itu, saya dan teman-teman saya merasa tertarik dan sangat bersemangat. Selama beberapa pekan hal tersebut menjadi bahan pembicaraan semua siswa. Tak sedikit siswa yang tidak sabar untuk segera menggunakan fasilitas yang tergolong mewah itu. Beberapa guru lain masih mempertanyakan tujuan pengadaan fasilitas mewah tersebut dan ada juga sebagian guru yang beranggapan bahwa pengadaan laboratorium bahasa hanya buang-buang uang semata. Pro dan kontra terus bergulir. Sayangnya pengorbanan yang diberikan demi pengadaan fasilitas tersebut tak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hanya segelintir guru yang mampu mengoperasikannya, itu juga setelah mendapat pelatihan khusus dari Dinas Pendidikan. Bahkan dalam praktiknya pun, laboratorium bahasa tidak digunakan dengan seharusnya. Laboratorium bahasa hanya dipakai untuk menonton film di saat guru pelajaran B.Inggris berhalangan hadir. Di lain pihak, kurikulum yang baru diterapkan menuntut adanya praktik penggunaan internet oleh peserta didik. Ironisnya, pihak sekolah telah kehabisan dana sehingga belum mampu menyediakan fasilitas internet gratis bagi anak didiknya. Lantas apa yang terjadi? Akhirnya guru TIK mengambil inisiatif untuk “memboyong” kami sekelas ke salah satu warnet yang berada dekat dengan lokasi sekolah. Tentu saja sehari sebelumnya, sang guru telah mem-booking warnet tersebut terlebih dahulu. Akibatnya proses belajar-mengajar menjadi kurang efisien, karena sang guru tidak dapat mengawasi setiap murid-muridnya. Bukan hanya itu, keberadaan kami yang masih lengkap dengan seragam tentu mengundang perhatian banyak orang. Tapi sang guru tetap antusias dalam mengajar kami. Saya akui hal ini sangat memalukan. Barang mewah yang susah payah diperoleh justru teronggok begitu saja karena ketidakmampuan guru dalam mengoperasikannya.
Tak dapat dipungkiri kecanggihan teknologi memang membawa banyak manfaat khususnya dalam dunia pendidikan. Sekolah seharusnya tidak hanya memfasilitasi anak didiknya dengan alat-alat teknologi saja, tetapi juga harus membekali tenaga pendidik dengan kemampuan untuk menggunakannya. Karena apalah artinya sebuah teknologi tanpa adanya tenaga yang menngoperasikannya. Ibaratnya seperti komputer tanpa adanya software. Sama sekali tak terpakai semahal apapun harganya.
Penulis meminta maaf apabila ada kesalahan teknis seperti pengetikan ataupun ejaan yang dinilai kurang baik. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat memotivasi penulis untuk berkarya lebih baik lagi.
Referensi:
Munir.2008.Kurikulum Berbasis TIK.Bandumg:Alfabeta.
Santrock, John.W.2008.Psikologi Pendidikan Edisi 2.Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Senin, 08 Februari 2010
Hasil diskusi 1
Bagaimana pandangan dan penilaian kelompok anda sehubungan dengan kewajiban setiap mahasiswa yang mengikuti mk.psikologi pendidikan 3 sks ta. 2009/2010 harus memiliki e-mail dan blog ditinjau dari uraian psikologi pendidikan dan fenomena pendidikan di Indonesia, Medan khususnya
Menurut kelompok kami, kewajiban mahasiswa memiliki e-mail dan blog sangat efektif dalam mengaitkan proses belajar-mengajar dengan pengetahuan yang berbasis teknologi. Apalagi teknologi(dalam hal ini e-mail dan blog) dapat menjadi wadah antara dosen dan mahasiswa untuk berinteraksi dan berkomunikasi dalam menanggulangi minimnya kesempatan bertatap muka dalam proses belajar-mengajar. Hal ini dikarenakan program pendidikan bertujuan menyiapkan peserta didik dalam melaksanakan perannya di masa mendatang. Hal ini juga dibarengi dengan pengajar yang membentuk kemampuan adaptasi terhadap keadaan dan tantangan dalam life skills yang didasarkan pada konsep belajar untuk tahu, untuk bisa, dan belajar hidup serta menjadi dirinya sendiri.
Sedangkan dapat kita lihat, sosialisasian penggunaan e-mail dan blog di dalam sistem pendidikan di kota Medan masih relatif kurang. Oleh sebab itu, pengenalan serta penggunaan e-mail dan blog pada mata kuliah Psikologi Pendidikan sangat membantu mahasiswa khususnya dalam mensosialisasikan fasilitas ini. Diharapkan di tengah ledakan perkembangan iptek sekarang sumber daya manusia Indonesia menjadi sumber daya manusia yang produktif dan “melek” teknologi
Anggota kelompok:
Langganan:
Postingan (Atom)